Seputar Wanita dan Kepemimpinan
Seputar Wanita dan Kepemimpinan
Bersama Dr. H. Ahmad Fudhaili, M.A.
Ada dalil dari ayat al-Qur`an dalam surah an-Nisâ`[4] ayat 34 yang berbunyi arrijalu qowwamuna ‘ala an-nisâ` ‘laki-laki menjadi pemimpin bagi wanita’, dan dalam suatu hadis dari Abu Bakrah yang berbunyi lanyyufliha qaumun walau amrahum imra`atan ‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat perempuan sebagai pemimpin mereka”, apakah kedua dalil tersebut bisa dijadikan landasan hukum?
Pada surah an-Nisâ` [4] ayat 34 berbicara tentang kepemimpinan laki-laki (suami) dalam rumah tangga. Ayat ini juga dijadikan dasar bahwa kepemimpinan berada di tangan laki-laki, sehingga hak-hak politik perempuan berada di tangan laki-laki. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak kepemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan.
Sedangkan mengenai hadis diatas terlebih dahulu harus meneliti aspek sejarah hadis tersebut dimunculkan (asbab al-wurud). Berkaitan dengan hadis tersebut ada dua pendekatan kaidah; Pertama, al-‘Ibrah bi ‘Umumin al-Lafzhi la bi Khushsus al-Sabab. Pendekatan pemahaman hadis diatas dengan menggunakan kaidah tersebut mempunyai dua kelamahan, bertentangan dengan pemahaman Al-Qur`an dan bertentangan dengan fakta sejarah, dimana alam Al-Qur`an menceritakan seorang penguasa negeri Saba yang bernama ratu Bilqis. Kepemimpinannya dikenal sukses serta negaranya yang aman sentosa; Kedua, al-‘Ibrah bi khushsus al-sabab la bi ‘umumin al-Lafzh. Dengan kaidah ini, bahwa hadis ini berkaitan dengan bangsa Persi yang mengangkat putri Kisra, dimana tidak ada yang menempati kedudukan tersebut setelah saudara-saudaranya dibunuh oleh ayahnya sendiri karena berambisi untuk menduduki tahta kerajaan. Tetapi, tidak lama kemudian kekuasaannya hancur berantakan, sebagaimana sumpah Nabi Muhammad kepada mereka agar mereka dirobek-robek seperti Kisra merobek surat dari beliau.
Maka, kedua dalil diatas tidak relevan jika dijadikan landasan hukum.
Bagaimana kepemimpinan wanita pada masa Rasulullah atau Sahabat?
Ruang lingkup kepemimpinan pada zaman Rasulullah tidak luas seperti sekarang, diana pada zaman ini perempuan diberi suatu keluasan dibanding zaman sebelumnya. Tapi, dahulu Rasulullah pernah memerintah Ummu Waraqah menjadi imam untuk keluarganya.
Pada dasarnya, Siti Khadijah pun adalah seorang pemimpin. Kerena pada saat beliau belum menjadi istri Rasulullah, beliaulah yang menguasai “harta kekayaan” dan juga salah satu “pegawai” beliau ialah Rasulullah sendiri.
Al-Qur`an juga telah menceritakan bagaimana kepemimpinan wanita. Seperti Ratu Bilqis. Ia adalah seorang pemimpin atau raja yang cerdas dan sukses dalam sebuah kepemimpinan “kolektif” di bangsanya, Saba. Dan juga Al-Qur`an telah mengabadikannya dengan mempunyai karakteristik kepemimpinan diantaranya; memimpin kerajaan yang luas dan kaya; suka bermusyawarah dengan para petinggi negara; memahami resiko yang terjadi dalam kebijakan politiknya sehingga dapat mengambil keputusan politik dengan sangat bijaksana; cepat tanggap terhadap kebenaran dan tidka ragu mengakui kebenaran orang lain.
Lalu, bagian apa saja yang terlarang bagi wanita dalam memimpin?
Seluruh bagian di perbolehkan, bahkan bagian terbesar pun. Tetapi, perempuan punya proporsi sendiri. Bagian yang tidak diberbolehkan untuk perempuan ialah seperti memimpin salat untuk laki-laki, dimana para imam madzhab sepakat bahwa terlarangnya wanita memimpin salat dan juga dalam memimpin dalam hal perwalian. Pada zaman Rasulullah perempuan ikut serta dalam peperangan dan bagian yang diizinkan untuk perempuan ialah bagian “Palang Merah” seperti merawat Mujahidin yang terluka, memberi minum tentara Muslim, serta ada juga yang mengumpulkan anak panah.
Apakah Bapak termasuk pro atau kontra terhadap kepemimpinan wanita?
Mengenai pro dan kontra itu ialah masalah politis. Tetapi, jika dilihat dari masalah akademisnya, tidak ada yang menghalangi perempuan untuk maju dan berkompetisi dalam memimpin. Kalaupun mereka kalah dalam berkompetisi, itu hanya dalam seleksi. Tetapi, tergantung pemimpin apa yang kita maksud. Dalam kepemimpinan itu pun harus mengandalkan keprofesionalan.
Bagaimana kriteria perempuan yang layak diberikan jabatan atau menjadi pemimpin?
Sama seperti laki-laki. Kepemimpinan itu bukan dilihat dari gendernya, tapi dari segi kualitasnya. Misalnya mereka bisa me-manage (mengelola) suatu bangsa dan luas ilmunya. Seperti contohnya, disebutkan dalam Al-Qur`an kisah Jalut dan Thalut, ketika Nabi Samuel mengangkat Jalut menjadi pemimpin karena keluasan ilmunya dan jism (kesehatan jasmani)-nya.
Tapi, banyak kelemahan perempuan Pak, seperti haid, nifas, dan kurang agama serta akalnya?
Seluruh kelemahan anak perempuan Adam sudah menjadi fitrah, sebagaimana pernyataan Rasulullah. Perempuan dianggap lemah dien-nya yakni sesuai dengan pernyataan Rasulullah; dalam masalah persaksian (utang-piutang—red), dimana dua perempuan banding satu laki-laki; kemudian ketika mereka haid, mereka tidak boleh salat (tidak di qadha—red). Pada dasarnya ketika mereka haid, merupakan ibadah dimana mereka menjalankan perintah Allah ketika haid agar tidak melakukan salat. Tapi, apakah ibadah perempuan hanya salat dan puasa saja? Tentu tidak. Ketika mereka mengabdi (patuh) kepada suaminya merupakan ibadah dan ketika mereka mengurus anak merupakan ibadah juga.
Kapan seorang wanita bisa dijadikan pemimpin?
Ketika mereka siap dan terpilih dalam kompetisi.
Perdagangan Pada Zaman Nabi shallallahu'alaihi wasallam
Perdagangan Pada Zaman Nabi shallallahu'alaihi wasallam
A. Pengertian Perdagangan
Dalam bahasa Arab, perdagangan berarti تِجَارَةٌ yang merupakan mashdar dari kata تَجَرَ yang berarti dagang, dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, dagang adalah pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan; jual beli; perniagaan.
B. Tafsir Ayat Mengenai Perdagangan
As-Shaff : 10-11
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
: disini berarti amal saleh yang dikerjakan oleh seseorang untuk mendapatkan pahala.
Penafsiran:
Wahai orang-orang yang beriman kapada Allah dan membenarkan rasul-Nya, maukah Aku tunjukkan kepadamu transaksi yang menguntungkan dan perniagaan yang bermanfaat, yang dengannya kamu mendapatkan keuntungan yang besar dan keberhasilan abadi yang kekal.
Uslub ini menunjukkan dorongan dan perhatian terhadap apa yang datang sesudahnya, sebagaimana engkau mengatakan, “maukah aku tunjukkan kepadamu seorang alim yang besar yang berakhlak mulia dan ilmunya melimpah? Dia adalah fulan.” Yang seperti ini lebih menarik dalam percakapan dan lebih mendorong untuk diterima. Kemudian Allah menjelaskan perniagaan dengan firman-Nya:
Tetaplah pada keimananmu, keikhlasan amal kepada Allah dan berjihadlah dengan jiwa dan harta di jalan-Nya dengan menyebarkan agama dan meninggikan kalimah-Nya.
Jihad itu bermacam-macam, antara lain: Jihad terhadap musuh di medan perang untuk menolong agama, jihad terhadap hawa nafsu dengan memaksa dan mencegah syahwatnya yang menghinakannya, jihad terhadap nafsu dan makhluk dengan meninggalkan ketamakan terhadap harta benda mereka serta menyayangi dan mengasihi mereka, jihad terhadap orang dan dunia dengan tidak mengumpulkan harta kekayaannya dan tidak membelanjakannya kecuali dalam hal yang diperbolehkan oleh syariat dan diakui oleh syariat.
Iman dan jihad itu lebih baik bagimu daripada segala sesuatu di dunia, baik berupa jiwa, harta maupun anak, apabila kamu termasuk orang-orang yang memahami dan mengetahui macam-macam manfaat dan mengerti akan tujuan. Sebab segala urusan itu akan menjadi berharga karena tujuan dan akibatnya.
C. Sejarah Singkat Perjalanan Nabi dalam Berdagang
Nabi Muhammad SAW lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun gajah/ 571M di kota Mekah. Sejak lahir beliau telah menjadi seorang yatim. Ayahnya meninggal saat beliau masih dalam kandungan ibunya. Memasuki usia 6 tahun, beliau telah menjadi seorang yatim piatu. Ibunya meninggal sepulang dari makam ayah Nabi Muhammad SAW, tepatnya di kota Abwa. Sepeninggal ibunya, Nabi Muhammad SAW diasuh oleh kakeknya yang bernama Abdul Muthalib. Belum hilang kesedihan nabi akan kepergian Almarhumah ibunya, pada usia beliau yang ke-8 tahun beliau kembali ditinggal oleh kakek tercintanya Abdul Muthalib.
1. Awal Mula Perdagangan Nabi Muhammad SAW
Perjuangan kakeknya dalam mengasuh dan mendidik Nabi Muhammad SAW kemudian dilanjutkan oleh pamannya Abu Thalib. Karena kondisi Abu Thalib yang miskin, sejak kecil nabi sudah dibawanya ikut serta dalam mencari nafkah dalam suatu kafilah dagang. Hal inilah yang membuat Nabi berkepribadian mandiri. Memasuki masa remaja, Nabi mulai berusaha mencari rezeki dengan menggembalakan kambing. Rasulullah SAW pernah bertutur tentang dirinya, “Aku dulu menggembalakan kambing penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath.” (H. R. Bukhori).
Pada usia dua puluh lima tahun, beliau pergi berdagang ke Syam menjalankan barang dagang milik Khadijah. Ibnu Ishaq menuturkan Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita pedagang, terpandang dan kaya raya. Dia biasa menyuruh orang-orang menjalankan barang dagangannya dan membagi sebagian hasilnya kepada mereka. Disisi lain, kaum Quraisy mempunyai kebiasaan berdagang. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al- Quraisy:
•
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas[1602]. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
[1602] Orang Quraisy biasa Mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin. dalam perjalanan itu mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya. ini adalah suatu nikmat yang Amat besar dari Tuhan mereka. oleh karena itu sewajarnyalah mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka.
Tatkala Khadijah mendengar kabar tentang kejujuran perkataan beliau, kredibilitas dan kemuliaan akhlak beliau, maka Khadijah pun mengirimkan utusan dan menawarkan kepada beliau agar berangkat ke Syam untuk menjalankan barang dagangannya. Dia siap memberikan imbalan jauh lebih banyak dari imbalan yang pernah dia berikan kepada pedagang lain. Beliau harus pergi bersama seorang pembantu yang bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran ini. Maka beliau berangkat ke Syam dengan disertai Maisarah.
Setelah usahanya dijalankan bersama Nabi Muhammad SAW, keuntungan dagang yang diperoleh Khadijah jauh lebih banyak dari sebelumnya. Apalagi setelah pembantunya yang bernama Maisarah mengabarkan kepadanya tentang apa yang dilihatnya pada diri Rasulullah SAW selama menyertainya, bagaimana sifat-sifat beliau yang mulia, kecerdikan dan kejujuran beliau, maka seakan-akan Khadijah mendapatkan barangnya yang pernah hilang dan sangat diharapkannya. Melihat kepribadian Nabi Muhammad SAW yang sangat mengagumkan, Siti Khadijah meminta Nafisah binti Munyah menemui Nabi Muhammad SAW dan membuka jalan agar bersedia menikah dengan Khadijah.
Ternyata Nabi Muhammad SAW menerima tawaran itu lalu beliau menemui paman-paman beliau. Kemudian paman-paman beliau menemui paman Khadijah untuk mengajukan lamaran. Setelah semuanya dianaggap selesai, maka perkawinan siap dilaksanakan dengan maskawin dua puluh ekor unta muda. Pada waktu itu Nabi berusia 25 tahun sedangkan Siti Khadijah berusia 40 tahun.
2. Upaya Nabi dalam Berdagang dengan Membangun Pasar
Upaya nabi Muhammad SAW pada tahun pertama hijriah yaitu membangun pasar sebagai tempat interaksi jual beli, dimana pasar tersebut terletak di sebelah barat masjid yang beliau bangun pada tahun tersebut. Beliau menentukan lokasi dalam pasar untuk menjajakan komoditi yang diperjualbelikan; ternak, bahan makanan, dan sebagainya. Sebagaimana dalam sabdanya:
هذَا سُوْقُكُمْ فَلَا يُنْتَقَصَنَّ وَلَايَضْرَبَنَّ عَلَيْهِ خَرَاجٌ
Inilah pasar kalian, jangan sampai dikurangi dan jangan juga menetapkak pajak atasnya (HR. Ibnu Majah)
D. Pesan-Pesan Nabi dalam Berdagang
Dari kisah lika-liku perdagangan Nabi di atas, ada beberapa pesan beliau untuk menjadi seorang pedagang yang sukses dan diridhoi Allah SWT, Rasulullah SAW telah menentukan indikator jual beli yang mabrur dalam sebuah haditst:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ صَالِحٍ اَبِي الْخَلِيْلِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ حَارِثِ رَفَعَهُ اِلَى حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْبَيِّعَانِ بِاالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Artinya: Sulaiman bin Harb menyampaikan kepada kami dari Syu’bah, dari Qatadah, dari Shalih Abu al-Khalil, dari Abdullah bin al-Harits, dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW bersabda , “penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (memilih) selama mereka belum berpisah atau sampai mereka berpisah. Jika mereka berdua jujur dan berterus terang, jual beli mereka akan diberkahi , dan jika mereka menyembunyikan aib dan berdusta, keberkahan dalam jual beli mereka akan hilang”.
Berikut kami uraikan keterangannya:
1. Jujur
Kejujuran adalah yang paling utama dalam berdagang. Yang terpenting disini bukanlah memencari rizki, melainkan menjempu trizki dengan jalan amal sholeh, karena rizki setiap makhlik sudah ditentukan oleh Allah SWT.
•
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(An-Nisa: 29)
Dengan kejujurannya, nabi terkenal sebagai seorang yang amanah (dapat dipercaya) sehingga beliau mendapat julukan al-Amin.
2. Adil
•
35. dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
•• •
1. kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang[1561],
2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
3. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
[1561] Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang.
3. Ramah dan lemah lembut (komunikatif)
Dengan keramahan dan kelemahlembutan kita dapat menggerakan hati orang lain untuk mau bekerjasama.
4. Cakap dan professional
Profesionalisme itu perlu diupayakan, karena dengan ini berarti kita lebih mengutamakan kredibilitas
“Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla.” (HR. Ahmad)
5. Inovatif
Pedagang dituntut untuk terus berupaya dalam menambah wawasan dan meningkatkan kualitas barang dagang sesuai dengan kebutuhan pasar.
E. Hukum Jual Beli Online
Dalam perkembangan zaman yang kita kenal dengan zaman globalisasi (‘ashru ‘aulamah) dunia semangkin dihadapkan berbagi permasalahan yang begitu kompleks termasuk diantaranya berbisnis dengan cara-cara yang pragmatis, instan, cepat tapi aman. Sehingga kita mengenal sekarang ini ada istilah transaksi bisnis seperti, melalui perbankan, kartu kredit (Bithaqah Ali’timan), Lelang (Mazad ‘Alani; Auction), Saham, transaksi melalui ATM, Kredit, jual beli lewat online, industri, export-inport, investasi, stock market, dll.
Disini kami akan sedikit membahas tentang hukum jual beli online sebagaimana didiskusikan pada presentasi kami yang lalu. Dalam Islam berbisnis melalui online diperbolehkan selagi tidak terdapat unsur-unsur riba, kezaliman, menopoli dan penipuan. Bahaya riba (usury) terdapat didalam Alquran diantaranya di (QS. Albaqarah[2] : 275, 279 dan 278, QS.Ar Rum[30] : 39, QS. An Nisa[4] : 131).
Rasulullah mengisyaratkan bahwa jual beli itu halal selagi suka sama suka (Antaradhin). Karena jual beli atau berbisnis seperti melalui online memiliki dampak positif karena dianggap praktis, cepat, dan mudah. Allah Swt berfirman dalam Alquran Surah Albaqarah[2] : 275: “….Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”. Al Bai’ (Jual beli) dalam ayat termasuk didalamnya bisnis yang dilakukan lewat online. Namun jual beli lewat online harus memiliki syarat-syarat tertentu boleh atau tidaknya dilakukan.
Syarat-syarat mendasar diperbolehkannya jual beli lewat online adalah sebagai berikut :
1. Tidak melanggar ketentuan syari’at Agama, seperti transaksi bisnis yang diharamkan, terjadinya kecurangan, penipuan dan menopoli.
2. Adanya kesepakatan perjanjian diantara dua belah pihak (penjual dan pembeli) jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan antara sepakat (Alimdha’) atau pembatalan (Fasakh). Sebagaimana yang telah diatur didalam Fikih tentang bentuk-bentuk option atau alternative dalam akad jual beli (Alkhiarat) seperti Khiar Almajlis (hak pembatalan di tempat jika terjadi ketidak sesuaian), Khiar Al’aib (hak pembatalan jika terdapat cacat), Khiar As-syarath (hak pembatalan jika tidak memenuhi syarat), Khiar At-Taghrir/Attadlis (hak pembatalan jika terjadi kecurangan), Khiar Alghubun (hak pembatalan jika terjadi penipuan), Khiar Tafriq As-Shafqah (hak pembatalan karena salah satu diantara duabelah pihak terputus sebelum atau sesudah transaksi), Khiar Ar-Rukyah (hak pembatalan adanya kekurangan setelah dilihat) dan Khiar Fawat Alwashaf (hak pembatalan jika tidak sesuai sifatnya).
3. Adanya kontrol, sangsi dan aturan hukum yang tegas dan jelas dari pemerintah (lembaga yang berkompeten) untuk menjamin bolehnya berbisnis yang dilakukan transaksinya melalui online bagi masyarakat.
Jika bisnis lewat online tidak sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan di atas, maka hukumnya adalah “Haram” tidak diperbolehkan. Kemaslahatan dan perlindungan terhadap umat dalam berbisnis dan usaha harus dalam perlindungan negara atau lembaga yang berkompeten. Agar tidak terjadi hal-hal yang membawa kemudratan, penipuan dan kehancuran bagi masyarakat dan negaranya.
F. Kadar Laba dalam Berdagang
Pada dasarnya dalam masalah muamalat termasuk jual beli, yang berlaku adalah kaidah dasar bahwa segala sesuatu hukumnya boleh kecuali bila ada nash yang sharih melarangnya.
Dan bila ditelursui satu per satu, kita tidak menemukan nash sharih yang membatasi seseorang mengambil untung dari sebuah penjualan. Selama tidak ada larangan khusus dari Allah SWT dan selama kedua belah pihak tidak saling menzalimi dan sama-sama rela atas transaksi itu, maka jual beli itu syah menurut syariah karena tujuan jual-beli yang sesungguhnya bukan semata-mata murni mencari keuntungan atau laba, namun juga membantu saudara yang sedang membutuhkan.
Berbicara tentang laba atau keuntungan, tentu yang dimaksud adalah hasil yang diusahakan melebihi dari nilai harga barang. Dalam pandangan Wahbah al-Zuhaili, pada dasarnya, Islam tidak memiliki batasan atau standar yang jelas tentang laba atau keuntungan. Sehingga, pedagang bebas menentukan laba yang diinginkan dari suatu barang. Hanya saja, menurut beliau keuntungan yang berkah (baik) adalah keuntungan yang tidak melebihi sepertiga harga modal.
SEPUTAR ZAKAT
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Zakat
Kata zakat secara etimologi adalah mashdar (padanan kata) dari kata “zaka asy-syai” yang artinya apabila ia tumbuh dan bertambah. Karena itu zakat juga berarti keberkahan, pertumbuhan, kusician, dan kebaikan. Kata ini juga sering di kemukakan untuk makna thaharah (suci), sebagaimana dalam firman Allah dalam surah Asy-Syams [91] ayat sembilan,
قد افلح من زكها
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya.”
Adapun zakat secara terminologi syari’at adalah bagian harta yang telah ditentukan, dari harta tertentu, pada waktu tertentu, dan di bagikan kepada golongan orang-orang yang tertentu.
Terdapat pandangan ulama madzab terhadap pengertian zakat, antara lain;
1) Madzhab Hanafi mendefinisikan zakat, ‘menjadikan sebagian harta yang khusus sebagi milik orang yang khusus (berhak menerimanya) yang di tentukan oleh syari’at karena Allah Subhanahu wata’ala.
2) Madzhab Maliki mendefinisikan zakat dengan, ‘mengeluarkan seabgian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan catatan kepemilikan itu penuh dan mencapai haul (setahun), bukan barang tambang dan barang pertanian.
3) Madzhab Syafi’i mendefinisakan zakat, ‘sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tumbuh sesuai dengan cara khusus’.
4) Madzhab Hanbali mendefinisikan zakat sebagai suatu hak yang wajib di keluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula.
1. Hadis Mengenai Wajibnya Zakat
1) حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ عَنْ زَكَرِيَّاءَ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيْفِيٍّ عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ (رواه البخري ١٣٩٥)
Terjemah Hadis,
“Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim Adh-Dlohhak bin Makhlad dari Zakariya' bin Ishaq dari Yahya bin 'Abdullah bin Shayfiy dari Abu Ma'bad dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa ketika Nabi Shallallahu'alaihiwasallam mengutus Mu'adz radliallahu 'anhu ke negeri Yaman, Beliau berkata, ‘Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah mentaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka’.” (HR. Bukhari no. 1395)
2). حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ عَنْ مُوسَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ قَالَ مَا لَهُ مَا لَهُ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَبٌ مَا لَهُ تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ. وَقَالَ بَهْزٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ وَأَبُوهُ عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُمَا سَمِعَا مُوسَى بْنَ طَلْحَةَ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ أَخْشَى أَنْ يَكُونَ مُحَمَّدٌ غَيْرَ مَحْفُوظٍ إِنَّمَا هُوَ عَمْرٌو (رواه البخاري ١٣٩٦)
Terjemah hadis,
“Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin 'Umar telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Muhammad bin 'Utsman bin 'Abdullah bin Mawhab dari Musa bin Thalhah dari Abu Ayyub radliallahu 'anhu; Bahwa ada seseorang laki-laki berkata, kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam, "Kabarkan kepadaku suatu amal yang akan memasukkan aku kedalam surga." Dia berkata, "Apakah itu, apakah itu? Dan Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Dia membutuhkannya. Yaitu kamu menyembah Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan suatu apapun, kamu mendirikan shalat, kamu tunaikan zakat, kamu sambung hubungan kerabat (silaturrahim) " Bahz berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Utsman dan bapaknya -'Utsman bin 'Abdullah- bahwa keduanya mendengar Musa bin Thalhah meriwayatkan dari Abu Ayyub dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam sama dengan lafadz seperti ini. Berkata, Abu Abdillah al-Bukhari: "Aku khawatir bahwa Muhammad bin 'Utsman yang menghafalnya dari (Syu'bah) akan tetapi yang dimaksud adalah 'Amru bin 'Utsman.” (HR. Bukhari no. 1396)
Penjelasan hadis
Zakat pertama kali diwajibkan di Mekah secara umum. Dengan kata lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menentukan jenis dan kadar zakat yang harus dikeluarkan pada masa itu, tapi mengembalikan hal tersebut kepada perasaan dan kemurahan hati kaum Muslimin. Baru kemudian, pada tahun kedua Hijriah di bulan Syawal, di tentukan jumlah, jenis, dan perincian harta yang wajib di keluarkan oleh kaum Muslimin.6
Pada hadis pertama diatas, bahwa Nabi mengutus sahabat Muadz bin Jabal –radhiyallahu’anhu– ke Yaman disamping sebagai dai juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat.
Dalam al-Qur`an kata “zakat” di gandengkan dengan kata “salat” dalam 82 tempat. Hal ini menunjukkkan bahwa keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Kewajiban zakat sudah dijelaskan dalam firman Allah, sebagaiman di sebutkan di bawah ini;
a. Dalam surah al-Baqarah [2] ayat 43,
وَأَقِيمُوا ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا ٱلزَّكَوٰةَ
“Dirikanlah salat dan tunaikan zakat...” (al-Baqarah [2]: 43)
Dalam ayat di atas, Allah mewajibkan kaum muslimin untuk menunaikan zakat, sebab, jenis ibadah ini merupakan manifestasi rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang di berikan kepada mereka, sekaligus merupakan cermin hubungan yang serasi antar-manusia. Zakat juga mengandung nilai kesejahteraan umum dalam kehidupan manusia.
b. Dalam surah at-Taubah [9] ayat 103,
خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka...” (QS. at-Taubah [9]: 103)
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa zakat di ambil dari orng-orang yang berkewajiban untuk berzakat untuk kemudian di berikan mereka yang berhak menerimanya. Zakat sedekah membersihkan mereka dari kekikiran, cinta harta yang berlebihan, kehinaan, sikap yang keras terhadap orang-orang fakir dan sengsara serta keburukan-keburukan lain yang biasa melekat pada manusia. Adapun yang dimaksud dengan menyucikan adalah memperkembangkan harta atau menyuburkannya dengan kebaikan dan keberkahan akhlak serta amal sehinggal orang orang yang mengeluarkan zakat menjadi manusia yang bahagia di dunia dan akhirat.
c. Dalam surah al-Taubah [9] ayat 71,
وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”(QS. al-Taubah [9] :71)
Golongan yang di berkahi Allah dan di liputi rahmat-Nya adalah golongan yang beriman kepada Allah, saling membantu dan mencintai diantara mereka, memerintahkan untuk berbuat yang makruf, mencegah dari yang mungkar, menjalin hubungan dengan Allah melalui salat, dan menjalin hubungan di antara sesama melalui zakat.
Serta di bawah ini kewajiban zakat dalam as-Sunnah yang berkaitan dengan hadis di atas –yang telah disebutkan—, antara lain;
a. Hadis dari Jabir –radhiyallahu’anhu- meriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Nabi, ‘Apa pendapatmu jika seseorang telah menunaikan zakatnya?’, Nabi bersabda,
مَن أَدَى زَكَاة مَالِهِ ذَهَبَ عَنهُ شّرُّهُ
“Barangsiapa yang menunaikan zakat hartanya, keburukan telah hilang darinya.” (HR. Al-Jamaah)
b. Hadis dari Jabir Abdullah –radhiyallahu’anhu- berkata, “Aku berjanji setia kepada Rasulullah untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan menasihati setiap Muslim.” (HR. Bukharii)
Orang yang Wajib Zakat
Zakat diwajibkan kepada orang Muslim yang merdeka dan memiliki nisab dari segala jenis harga yang wajib di zakati.
Sebuah harta dianggap telah mencapai nisab apabila memenuhi kriteria berikut; Pertama, Lebih dari kebutuhan pokok, seperti makanan sandang, tempat tinggal, kendaraan, dan alat-alat kerja; Kedua, telah mencapai haul Hijriah. Permulaan haul dihitung dari hari memiliki nisab, nisab ini harus tetap utuh setahun penuh. Jika di tengah-tenah tahun nisab berkurang, kemudian sempurna lagi, perhitungan haul dimulai lagi dari waktu sempurna setealah berkurang tersebut.
Imam an-Nawawi berkata, “Madzhab kami, madzhab Maliki, Ahmad, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa harta yang wajib diakati karena ‘ain (barangnya) yang wajib dizakati, seperti emas, perak, dan binatang ternak disyaratkan mencapai nisab selama setahun penuh. Jika nisab ini berkurang pada suatu waktu di tengah-tengah tahun, perhitungan haul menjadi terputus. Jika setelah berkurang nisab terpenuhi nisab lagi, perhitungan haul di mulai lagi dari waktu terpenuhinya nisab ini.
Sementara Abu Hanifah mengatakan bahwa yang dijadikan patokan adalah terpenuhinya nisab. Pada awal tahun dan akhir tahun. Karena itu, berkurangnya nya nisab di tengah-tengah tahun tidak memutuskan perhitungan haul.
Syarat haul tersebut tidak berlaku untuk zakat pertanian karena waktu zakatnya adalah ketika masa panen. Allah SWT, berfirman, “Dan berikan haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya.” (QS. al-An’am [6]: 141)
2. Hadis Mengenai Dosa Bagi Orang yang Enggan Membayar Zakat
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِي بِشِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلَا } لَا يَحْسِبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ{ الْآيَةَ عَمْرٌو (رواه البخاري ١٤٠٣)
Terjemah hadis:
Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Abdullah telah menceritakan kepada kami Hasyim bin Aal Qasim telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin 'Abdullah bin Dinar dari bapaknya dari Abu Shalih As-Saman dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata,: Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda, "Barangsiapa yang Allah karuniakan harta, kemudian ia enggan menunaikan zakatnya, maka harta tersebut akan diserupakan dengan (menjadi) seekor ula rbesar yang akan mematuknya pada hari kuamat kelak, ia (ular tersebut) memiliki dua taring dan meangkap dengan kedua tulang rahang bawahnya. Dia berkata, “Aku adalah hartamu, Aku adalah harta simpananm.” Kemudian Beliau membaca ayat, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak dilehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di Langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (HR. Bukhari no.1403)
Syarah Hadis:
Orang yang enggan membayar zakat akan mendapat siksaan di akhirat dan di dunia. Di akhirat dia akan mendapatkan siksaan yang pedih. Pernyataan ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala sebagai berikut,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْأَحْبَارِ وَٱلرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلْبَٰطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ﴿٣٤﴾ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ ﴿٣٥﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.(34) (Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu. (35)” (QS. al-Taubah [9]; 34-35)
Dalil al-Qur`an yang Berkaitan Dengan Hadis di atas
Orang yang enggan membayar zakat akan mendapat siksaan di akhirat dan di dunia. Di akhirat dia akan mendapatkan siksaan yang pedih. Pernyataan ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala sebagai berikut,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْأَحْبَارِ وَٱلرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلْبَٰطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ﴿٣٤﴾ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ ﴿٣٥﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.(34) (Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu. (35)” (QS. al-Taubah [9]; 34-35)
Dalil sunnah yang Berkailatan Dengan Hadis di atas
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
وما منع ثوم الزكاة إلا ابتلاهم الله بااسنين
“Tidaklah suatu kaum menolak mengeluarkan zakat, melainkan Allah akan mengujinya dengan kelaparan (paceklik).
3. Hadis tentang Wajibnya Zakat Fitrah
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ، وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا مَالِكٌ، ح وَحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، -وَاللَّفْظُ لَهُ- قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ، صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ، ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى، مِنَ الْمُسْلِمِينَ» (رواه مسلم٩٨٤ )
Terjemah hadis:
“Telah menceritakan kepada Abdullah bin Maslamah bin Qo’nab, dari Qutaibah bin Sa’id yang berkata, telah menceritakan kepada kami Malik dari dari Yahya bin Sa’id –dengan lafadznya- berkata: Aku membacakan kepada Malik, dari Nafi’ dari Ibnu Umar –radhiyallahu’anhu-, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah dibulan Ramadhan kepada orang banyak, sebanyak satu gantang (sha’) kurma atau satu gantang gandum untuk setiap orang merdeka dan hamba sahaya laki-laki dan perempuan dari kaum muslimin.” (HR. Muslim no. 984) ‘
Syarah Hadis
Ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata (قرض), akan tetapi menurut mayoritas ulama salaf dan khalaf yaitu harus/wajib. Maka zakat fitri wajib di tunaikan karena keumuman lafadz sebagaimana terdapat dalam firman Allah, “Dan tunaikanlah zakat...”
Beliau berkata, mengenai makna lafadz ini yang penggunaannya berkaitan dengan istilah syara’. Ibrahim bin Rahwaih berkata, “kewajiban zakat fitri ini merupakan ijma’ para ulama. Sebagian dari ahli Iraq, sebagian dari madzhab Maliki, serta sebagian dari madzhab Syafi’i bahwa zakat fitri itu tidak wajib, akan tetapi sunnah. Sedangkan menurut Abu Hanifah di wajibkan bukan di fardhukan .
من رمضان Lafadz ini menunjukkan ukuran waktu kewajiban dalam menunaikan zakat. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, akan tetapi pendapat yang lebih kuat ialah dari pendapatnya ulama imam Syafi’i –rahimahullah—; pertama, menunaikan zakat mulai dari sebelum terbenamnya matahari sampai awal masuknya malam idul fitri; kedua, dari mulai terbitnya fajar ketika malam id. Dan menurut mereka bahwa, di wajibkan menunaikan zakat dari terbenamnya matahari dan terbitnya fajar.
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِير dalam dalil fiqih diwajibkan atas tiap seseorang satu sha’, yang di maksudkan disini walaupun satu sha’nya bukan jenis dari gandum atau buah anggur yang telah di keringkan (kismis) tetap di wajibkan menurut jumhur ulama. Menurut Abu Hanifah dan Ahmad: terdapat riwayat dari Muawiyah yang menyebutkan bolehnya mengeluarkan setengah sha’, dan hujjah menurut jumhur ulama berdasarkan riwayat dari Sa’id, “satu sha’ itu dari makanan (pokok), gandum, kurma, atau satu sha’ dari buah anggur yang di keringkan.
Hubungan Hadis di atas dengan Al-Qur`an
Orang-orang yang berhak menerima zakat hanya mereka yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wata’ala dalam Al-Qur`an. Mereka itu terdiri atas delapan golongan. Sebagaimana Firman Allah dalam Qur`an Surah at-Taubah [9] ayat 60,
Artinya: Yang berhak menerima zakat Ialah orang fakir , orang miskin , pengurus zakat , Muallaf , memerdekakan budak , orang berhutang , Orang yang pada jalan Allah (sabilillah) , orang yang sedang dalam perjalanan (musafir)
Hubungan Hadis di atas dengan yang lain
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Yahya bin Muhammad bin As-Sakan menyamaikan kepada kami dari Muhammad bin Jahdhan, dari Ismail bin Ja’far, dari Umar bin Nafi’, dari ayahnya bahwa Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebesar 1 sha’ kurma atau 1 sha’ gandum kepada seluruh kaum muslimin, baik orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, muda maupun tua,. Beliau memerintahkan agar zakat ini ditunaikan sebelum orang-orang berangkat melaksanakan shalat id.” (HR. Bukhari)
Relevansi Hadis dengan Fiqh
a. Besarnya ukuran yang di Wajibkan pada setiap orang dalam zakat fitrah
1. Pendapat pertama, ialah seukuran satu sha’ dari setiap jenis makanan. Ini pendapat mayoritas ulama –kecuali Abu Hanifah dan ash-Habul ra’yi— dalail mereka yaitu salah satunya hadis dari Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu’alihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sha’ kurma, satu sha’ gandum, kemudian orang-orang berpindah ke setengah sha’ burr (jenis gandum)
2. pendapat kedua, yang wajib adalah seukuran satu sha’, kecuali pada burr, ia boleh seukuran setengah sha’.
b. Syarat-syarat wajib zakat fitrah
1. Islam, orang yang tiak beragama Islam tidak wajib membayar zakat fitrah.
2. Lahir sebelum terbenam matahari pada hari penghabisan bulan ramadhan, anak yang lahir sesudah terbenam matahari tidak waji fitrah. Orang yang menikah sesudah terbenam matahari tidak wajib membayarkan fitrah istrinya yang baru dinikahinya itu.
3. Dia mempunyai lebihan harta dari keperluan makanan untuk dirinya sendiri dan untuk yang wajib di nafkahinya.
c. Orang yang tidak berhak menerima zakat
Sebagaiana telah dijelaskan orang-orang yang berhak menerima zakat ada delapan golongan, dan orang-orang yang tidak berhak menerima zakat ada lima golongan, sebagaimana penjelasan berikut ini
1. Orang kaya dengan harta atau kaya dengan usaha dan penghasilan
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaya itu ialah orang yang mempunyai harta yang mencukupi untuk penghidupannya sendiri serta orang yang dalam tanggungan.
2. Hamba sahaya karena mereka mendapat nafkah dari tuan mereka.
3. Keturunan Rasulullah shallallahu’alihi wasallam
4. Orang dalam tanggungan yang berzakat, artinya orang yang berzakat tidak boleh memberikan zakatnya kepada orang yang dalam tanggungannya dengan nama fakir miskin.
5. Orang yang tidak beragama Islam.
Langganan:
Postingan (Atom)