Kata-Kata Mutiara

"Dunia yang kita pijak sekarang ni hanyalah tempat tinggal sementara. Oleh karena itu hendaklah kita senantiasa mengingatkan kepada diri kita masing-masing tujuan hidup kita di dunia ini"

Kata-Kata Mutiara Session 2

"Nikmat sehat akan terasa jika kita pernah sakit. Nikmat harta akan terasa jika kita pernah susah, dan nikmat hidup akan terasa jika kita pernah mendapatkan musibah. Musibah adalah awal dari kenikmatan hidup"

Kata-Kata Mutiara Session 3

“Waspadalah terhadap tiga orang: pengkhianat, pelaku zalim, dan pengadu domba. Sebab, seorang yang berkhianat demi dirimu, ia akan berkhianat terhadapmu dan seorang yang berbuat zalim demi dirimu, ia akan berbuat zalim terhadapmu. Juga seorang yang mengadu domba demi dirimu, ia pun akan melakukan hal yang sama terhadapmu.”

Kata-Kata Mutiara Sesion 4

“Tiga manusia adalah sumber kebaikan: manusia yang mengutamakan diam (tidak banyak bicara), manusia yang tidak melakukan ancaman, dan manusia yang banyak berzikir kepada Allah.”

Kata-Kata Mutiara Session 5

“Kuwasiatkan lima hal kepadamu: (1) jika engkau dizalimi, jangan berbuat zalim, (2) jika mereka mengkhianatimu, janganlah engkau berkhianat, (3) jika engkau dianggap pembohong, janganlah marah, (4) jika engkau dipuji, janganlah gembira, dan (5) jika engkau dicela, kontrollah dirimu”.

Sebaik-baik Pakaian adalah Pakaian Takwa


 



Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi  auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa itulah yang lebih baik. Demikian sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat..” (QS. Al-A’raf [7]: 26)

Dalam ayat ini, Allah memberikan kepada anak cucu Adam pakaian sebagai perhiasan dan menutupi aurat. Pakaian yang melekat di lahiriah kita adalah perhiasan. Pakaian yang dilahiriah kita akan menjadi perhiasan yang indah bila diiringi dengan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan akan lebih indah lagi bila lahiriah dan batiniah dalam dua lingkup menjadi perhiasan. Dimana ketakwaan dalam pandangan Islam yaitu menjalani perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi segala larangan-Nya.
            Fenomena yang sering kita temui dikebanyakan masyarakat yaitu dengan mengatakan “yang penting hatinya dulu ditutupi” ini merupakan pemahan yang salah, karena salah satu fungsi pakaian ialah menutupi aurat yang merupakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala penerapan dari ketakwaan.
Diantara hadis yang berkaitan dengan ayat diatas yaitu riwayat dari Ahmad, “Dari Abi Mathar bahwasanya dia baru saja melihat Saidina Ali -radiyallahu’anhu- menghampiri seorang pedagang dan membeli pakaian darinya seharga tiga dirham, kemudian ia mengenakannya, ketika ia mengenakannya dari pergelangan tangan sampai ke lutut, Ia berdoa: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberiku pakaian bagus yang menghiasiku dan dapat menutup auratku’ lalu ditanyakan kepadanya: ‘Apakah doa  ini dari ucapanmu atau dai Nabi?’ ia menjawab: ‘Doa ini aku dengar dari Nabi shallallahu ’alaihi wassallam ketika Beliau mengenakan pakaian: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberiku pakaian bagus yang dapat menghiasiku dihadapan oran-orang dan dapat menutupi auratku..”
            Pakaian lahiriah yang telah menutupi aurat kita harus sesuai dengan akhlak (kelakuan, -ed), seperti contoh orang yang telah menutupi auratnya tetapi akhlaknya tidak baik seperti suka berbohong, suka menyakiti orang lain, mata yang masih jelalatan dan cara berjalan yang masih berlenggak-lenggok.
            Pakaian takwa itu sendiri mempunyai ciri-ciri secara fisik seperti tidak transparan, tidak ketat, tidak menyerupai lawan jenis, dan warna yang tidak mencolok. Ciri-ciri terakhir ini masih terjadi khilafiyah diantara para ulama.  Dan dari segi islaminya juga diiringi dengan akhlak baik yang mencerminkannya.
            Diakhir wawancara, Hj. Mutmainnah, M.A. berpesan: ”Kita sebagai orang yang menjaga Al-Qur`an, pakaian yang kita kenakan dari segi lahiriah harus sesuai dengan Al-Qur`an dan batiniah kita juga sesuai dengan Al-Qur`an dengan tuntunan yang sudah ada, bukan hanya menghapalkannya saja tetapi juga mengamalkannya. Dan sesuailah apa yang dihapalkan dengan yang diamalkan.” (Ayu Rostiana) 

*hasil wawancara dengan Hj. Mutmainnah, M.A., selaku dosen dan Instruktur tahfizh di IIQ Jakarta

Allah Mengangkat Derajat Orang-orang yang Beriman dan Berilmu

ilmu/google.com



“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis," maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujadilah [ ]: 11)
Ayat pertama ialah ya ayyuhaladzina amanu idza qiila lakum tafassahu fil majalis
Dalam kitab Shofatus Taffasir halaman 1478 karya ’Ali Ash-shobuni menurut Mujahid seorang mufassir dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa ayat ini turun ketika para sahabat sedang duduk-duduk di majelis Rasulullah. Maka kemudian diperintahkan untuk duduk  tidak berdesak-desakkan, apabila datang seorang sahabat lagi maka dipersilahkan untuk duduk.
Imam Al-Khazim berkata, Allah sedang memerintahkan dengan ayat ini agar orang mukmin untuk bertawadhu’ dan saling mempersilahkan kepada orang yang baru datang untuk duduk bersama Rasul. Tujuannya yaitu agar orang-orang mendapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan nasehat dan pelajaran dari Rasulullah.
Dalam hadis Nabi bersabda, Janganlah berdiri (laki-laki) salah satu diantara kalian di majelis Rasul, kemudian duduk kembali tetapi yang penting ialah saling memberi jalan dan saling mempersilahkan maka dengan begitu urusannya dipermudah oleh Allah.”
Imam Fakharuddin Ar-Razi berkata dalam tafsirnya yaitu tafsir Ar-Razi, ayat ini tidak berbicara tentang itu saja. Walaupun ayat tersebut turun dalam konteks majelis Nabi tetapi untuk dapat mempermudah urusan manusia didalam hal tempat, mencari rezeki, dan hati. Dan Ar-Razi mengatakan bahwa dalam ayat ini menjelaskan siapa pun memperluas atau memudahkan hamba hamba Allah untuk mendapatkan kebaikan maka Allah akan mempermudah urusannya baik di dunia dan di akhirat. Ada sebuah hadis dalam kitab tersebut, “Allah selalu menolong hambanya selagi ia masih menolong saudaranya.”
ayat yang kedua ialah fafsahu yafsahillahu lakum wa idza qilan syuzu fansyuzu..
Ibnu Abbas menyatakan ayat ini, yang pertama yaitu memerintahkan untuk memperlebar kesempatan bagi orang lain, kedua untuk berdiri atau jika orang lain datang.
Kegita yaitu yar fa’illahulladzina amanu minkum walladzi nautul’ilma darajat
Ayat ini memberitahukan bahwa yang dimuliakan Allah adalah orang berilmu dan beriman. Sebagaimana dalam hadis, “kelebihan orang berilmu dibanding hamba-hamba yang lain sebagaiman lebihnya bulan purnama dibanding bintang-bintang yang lain.” Didalam kitab tersebut, mengutip pendapat al-Qurthubi ayat ini menjelaskan sesungguhkan ketinggian atau keluhuran seorang hamba menurut Allah adalah dengan ilmu dan iman. Bukan karena lebih dulu datang ke majelis.
Penjelasan ayat ini bahwa Allah akan mengangkat derajat orang orang mukmin dengan menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin yang berilmu secara khusus akan diangkat lebih tinggi derajatnya beberapa derajat. Dan akan diberikan derajat yang mulia di surga. Ibnu Mas’ud berkata, “Allah memuji ulama di akhir ayat ini.” Kemudian ia berkata, “Wahai manusia, pahamilah ayat ini agar kamu mencintai ilmu karena Allah berkata, “seorang mukmin yang berilmu akan diangkat derajatnya diatas orang mukmin yang tidak berilmu.” 
Perempuan Menunut Ilmu
Dalam buku Nida Al-Qur`an dikalangan umat Islam ada dua golongan yang mempunyai pandangan perempuan yang menuntut ilmu. Golongan yang pertama ialah al-Mutasyaddidun menyatakan bahwa wanita hanya boleh di dalam rumah dan melarang perempuan pergi sekolah (menuntut ilmu), alasannya ialah fardlu syari’ah. Dasar kelompok ini ialah menafsirkan ayat waqarna fi buyutikunna secara keras bahwa perempuan hanya berdiam di rumah. Kelompok ini biasanya di Taliban, Afganistan. Kelompok yang kedua ialah yang memudah-mudahkan syari’at agama atas nama kebebasan bahwa permpuan bebas atas apapun diantaranya bebas menggugah aurat. “Sebaiknya kita sebagai muslim memilih yang mutawassit (yang tengah-tengah), selagi perempuan yang berpergian dengan tujuan yang baik, jika sudah mendapat izin dari orang tua atau suami, itu tidak menjadi persoalan,” Jelas Pak Mursyid. Didalam hadis mengatakan, “wajib bagi muslim menuntut ilmu,” dan “tidak termasuk golonganku orang yang tidak pandai dan tidak belajar.”
            Dan sebagian besar Nabi mempunyai sahabat dikalangan perempuan (sahabiah –ed), dan istri-istri Nabi pula banyak yang meriwayatkan hadis dari Beliau dimana perempuan mempunyai peran penting dalam meriwayatkan hadis. Sahabat-sahabat yang lain pula menggali ilmu dari sebagian sahabiah dan istri-istri Nabi, daiantaranya ialah Aisyah binti Abu Bakar yang mempunyai 299 murid, 28 perempuan dan 232 laki-laki;  Ummu Salamah binti Abi Umayyah memiliki 101 murid, 23 perempuan dan 78 laki-laki; Hafsah binti Umar mempunyai 20  murid, 3 perempuan dan 17 laki-laki; Asma’ binti Abu Bakar memiliki 21 murid, 2 perempuan dan 21 laki-laki; Hazimah al-Wathobiyah memiliki 22 murid, yang seluruhnya laki-laki; Asma binti Umay mempunyaai 13 murid, 2 perempuan dan 11 laki-laki; Milla binti Abi Sufyan memiliki 21 murid, 3 perempuan dan 18 laik-laki; Fathimah binti kay memiliki 11 murid, semuanya laki-laki. Inilah sebagian istri dan sahabaiah Nabi yang meriwayatkan hadis dan yang menyerap ilmu dari mereka  sebagian besar laki-laki.
            Diakhir wawancara Pak Mursyid berpesan, “berbahagialah mahasiswi-mahasiswi IIQ karena diberikan kesempatan oleh Allah untuk mempelajari dasar-dasar ilmu agama saperti ilmu-ilmu Al-Qur`an; Tahfizh yang baik, memperdalam ‘Ulum Al-Qur`an, Qira’at, dan ilmu Ushuluddin. Disamping itu pula rajinlah belajar, punya idola baik tokoh-tokoh yang dimasa Nabi maupun tokoh-tokoh dizaman sekarang yang dapat membangkitkan semangat kalian.” (Ayu Rostiana)

Hasil wawancara dengan Bapak Ali Mursyid, M.A

Tips Menghargai dan Melipat Gandakan Uang Dengan Cara Ber-imajinasi (Wajib Baca)

Tips Menghargai dan Melipat Gandakan Uang Dengan Cara Ber-imajinasi


Uang dengan nominal Rp. 10.000 apa artinya bagi anda? berapa nilainya? besar kecil? Namun jika memiliki uang Rp. 10.000 mungkin anda akan membayangkan seandainya anda bukan mempunyai Rp. 10.000 namun Rp. 20.00, 50.000 atau lebih besar dari itu. Anda ingin melipatgandakan uang anda yang hanya sepuluh ribu ini menjadi tak terbatas? baiklah saya akan memberikan tipsnya. Namun ingat sebelumnya anda harus mengikuti semua intruksi dengan benar agar uang tersebut benar-benar bisa berlipat ganda bila tidak anda cukup membayangkan saja, Baiklah ikuti cara-cara yang saya kemukakan berikut

 1. Tips ini sangat baik jika anda lakukan di rumah, tanpa ada seorangpun
 2. Pandang uang anda ini dengan seksama, ingat-ingat darimana anda mendapatkannya
 3. Setelah itu jalanlah berkeliling didalam rumah anda
 4. Hilangkan uang anda ini dengan cara menjatuhkan atau menyembunyikannya
 5. INGAT. Anda harus menghilangkannya artinya jika anda ingat pun anda harus melupakannya
 6. Tidur atau pergilah keluar rumah hingga anda merasa lelah
 7. Sekarang anda lapar dan ingin membeli sesuatu, sayangnya anda tidak memiliki uang sama sekali.
 8. Seandainya anda memiliki uang Rp.5.000 saja itu cukup untuk membeli Mie Instant dan kerupuk
Lalu apa yang anda rasakan sekarang? Anda sekarang tidak punya uang bukan?maka anda akan mulai berfikir seandainya uang Rp. 10.000 tadi tidak hilang, maka mulailah Rp. 10.000 tadi dibutuhkan, dicari bahkan sangat diharapkan. Carilah kembali uang Rp. 10.000 tadi bila ketemu apa yang anda rasakan sekarang?

Quote
  • Bila anda mempunyai imajinasi yang baik, anda cukup berimajinasi saja
  • Bisa dilakukan dengan uang berapapun
  • Nilai uang bukan dinilai dari nominalnya, namun bagaimana cara memanfaatkan dan mensyukurinya

Tartibul Ayat Wa ah (Tertib Ayat dan Surah)

BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur`an sebuah kitab suci lagi mulia yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam melalui malaikat Jibril alaihissallam. Al-Qur`an terdiri dari enam ribu enam ratus ayat lebih dan terdiri dari surah yang sudah menjadi bukti bahwa Al-Qur`an merupakan mukjizat bagi Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam. Dimana susunan ayat dan surah-surah di dalam Al-Qur`an merupakan tauqif dari Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam, sebagaimana yang akan kita ketahui dalam pembahasan kali ini.











BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ayat
 Secara bahasa mengandung empat arti:
إِنَّ ءَايَةَ مُلْكِهِۦٓ أَن يَأْتِيَكُمُ ٱلتَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِّن رَّبِّكُم
"Sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya Tabut kepadamu, yang di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhan.”  (al-Baqarah: 248)
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦ خَلْقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَٰنِكُمْ
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu.(ar-Rum: 22)
إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَةً لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti.” (an-Nahl: 67)
سَلْ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ كَمْ ءَاتَيْنَٰهُم مِّنْ ءَايَةٍۭ بَيِّنَةٍ
Tanyakanlah kepada Bani Israil, berapa banyak bukti nyata....” (al-Baqarah: 211)

Sedangkan menurut istilah ayat adalah bagian dari surah yang mempunyai awal dan akhir, akhir ayat dinamakan fashilah
Dalam keterangan lain, ayat adalah satuan teks terkecil yang terdiri dari beberapa frase atau satu frase, yang membentuk kalimat sempurna, (walaupun hanya melalui perkiraan makna), memiliki pembuka dan penutup yang terdapat dalam satuan-satuan surat.

Ayat di dalam Al-Qur`an mempuyai perbedaaan panjang dan pendeknya, kebanyakan ayat yang panjang ada pada surat-surat yang panjang, dan ayat yang pendek ada pada surat-surat yang pendek pula. Ayat yang paling panjang adalah ayat tentang hutang yang terdapat dalam surat al-Baqarah , dan yang paling pendek adalah ayat  طه , dan يس   yang terdapat pada kedua surat tersebut.
Ada berpendapat bahwa ayat juga terdapat di dalam satu kalimat seperti (مدهامتان, : الرحمن 64), Dan ada juga yang mengatakan ayat terdapat dalam dua kalimat seperti (والضحى ), dan bisa juga lebih banyak dari itu.
Dan itu kebanyakan ayat Al-Qur`an. Sebagian ulama berpendapat: tidak ada ayat dalam satu kalimat kecuali (مدهامتان , : الرحمن64), ayat ini berbeda dari yang lainnya.

2. Pengertian surat
Menurut al-Zarqâni, surat secara bahasa juga memiliki beberapa arti :
Secara terminologis, surat berarti sekelompok ayat yang mandiri yang memiliki awal dan akhir.
Menurut al-Zarkasyi
Sedangkan Surah menurut istilah ulama adalah bagian dari ayat Al-Qur`an yang terkumpul dan terhubung satu sama lainnya hingga mencapai panjang dan berukuran seperti yang di inginkan Allah. Dan semua surah di awali dengan basmallah kecuali surah Bara’ah (at-Taubah).
Surah di dalam Al-Qur`an mempuyai perbedaaan panjang dan pendeknya. Surah yang paling panjang adalah surat al-Baqarah, dan yang paling pendek adalah surah al-Kautsar.
Ada banyak pendapat yang menjelaskan asal di beri nama (السور)  suwar:

Didalam at-Tibyan (karya imam An-Nawawi) disebutkan bahwa jumlah ayat Al-Qur`an disepakati jumlahnya diperhitungkan enam ribu dua ratus ayat lebih.


Para ulama yang mengemukakan pendapat bilangan ayat dalam Al-Qur`an :

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, setiap ulama mempunyai pendapat yang berbeda. Hal ini dikarenakan Nabi Shallallahu’alaihi Wassalam membaca waqaf ujung-ujung ayat untuk memberikan pengertian kepada para sahabat. Kemudian setelah mereka tahu, beliau membaca washal, demi memperoleh pengertian yang utuh. Sehingga sebagian sahabat mengira bahwa apa yang dibaca waqaf oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam itu bukanlah fashilah, karena beliau membaca washal pula dengan anggapan mereka, semuanya merupakan satu ayat. Sedang sebagian yang lain menganggapnya sebagai ayat tersendiri.
Jumlah surat dalam berbagai Mushaf :


Mengenai tertib surah terdapati tiga pendapat, yaitu :
 أَوْسِ بْنِ حُذَيْفَةَ قَالَ كُنْتُ فِي الْوَفْدِ الَّذِينَ أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْلَمُوا مِنْ ثَقِيفٍ ....الحادث ,فقَالَ لنا رَسُولَ اللَّهِ : "طَرَأَ عَلَيَّ حِزْبٌ مِنْ الْقُرْآنِ فَأَرَدْتُ أَنْ لَا أَخْرُجَ حَتَّى أَقْضِيَهُ"  فَسَأَلْنَا أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كَيْفَ تُحَزِّبُونَ الْقُرْآنَ ؟ قَالُوا نُحَزِّبُهُ ثَلَاثَ سُوَرٍ وَخَمْسَ سُوَرٍ وَسَبْعَ سُوَرٍ وَتِسْعَ سُوَرٍ وَإِحْدَى عَشْرَةَ سُورَةً وَثَلَاثَ عَشْرَةَ سُورَةً وَحِزْبَ الْمُفَصَّلِ مِنْ قَافْ حَتَّى يُخْتَمَ...
Artinya : “Aus bin Hudzaifah yang berkata: Saya berada dalam rombongan utusan yang mendatangi Nabi shallallahu `alaihi wasallam. Mereka telah masuk Islam, dari kabilah Tsaqif… Hadis, kemudian Beliau bersabda, “Telah turun kepadaku hizb Al-Qur’an, sehingga aku tidak ingin keluar sampai hal (hizb) itu selesai.” Kami bertanya kepada para sahabat Rasulullah ahallallahu `alaihi wasallam: “Bagaimana kalian membagi pengelompokan Al-Qur`an?’ Mereka menjawab: “Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan hizb Al-Mufashshal yaitu dari surat Qaf sampai akhir.

Ulama sepakat bahwa tertib ayat adalah bersifat tauqifi (menurut ketentuan) artinya susunan Al-Qur`an yang kita lihat sekarang ini adalah sesuai perintah dan wahyu dari Allah.
Adapun setelah penyusunan ayat Al-Qur`an secara keseluruhan, masih terjadi beberapa perbedaan. Diantaranya pendapat mengenai ayat yang pertama turun dan yang terakhir turun. Namun halini tidak menimbulkan kesangsian, mengenai ketauqifian Al-Qur`an.
 Top of Form

Al-`Alaq[96]:1
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ ﴿١
Al-`Alaq[96]:2
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ مِنْ عَلَقٍ ﴿٢
Al-`Alaq[96]:3
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,
ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ ﴿٣
Al-`Alaq[96]:4
Yang mengajar (manusia) dengan pena.
ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلْقَلَمِ ﴿٤
Al-`Alaq[96]:5
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
عَلَّمَ ٱلْإِنسَٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ﴿٥


يَٰٓأَيُّهَا ٱلْمُزَّمِّلُ ﴿١
Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! “
 Pendapat Ayat yang terakhir turun:
“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan). “

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.”
             ....يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ





Para ulama telah sepakat bahwa sitematika Al-Qur`an sebagaimana yang terdapat dalam mushaf yang sekarang ini berdasarkan tauqifi, artinya sistematika terseebut berdasarkan petunjuk Nabi yang di terima dari Allah melalui malaikat Jibril.
Firman Allah:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُۥ وَقُرْءَانَهُۥ ﴿١٧ فَإِذَا قَرَأْنَٰهُ فَٱتَّبِعْ قُرْءَانَهُۥ ﴿١٨
“Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. al-Qiyamah: 17-18)
Namun, sistematika menurut ulama tersebut bukan berdasarkan nuzulul ayat, akan tetapi sesuai dengan keterkaitan ayat yang satu dengan yang lainnya dan hubungan tata bahasanya. Misalnya sebuah ayat turun setelah dua tahun ayat sebelumnya, maka ayat tersebut berada pada sistematika ayat sebelumnya. Contoh surah al-Baqarah ayat 234:
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah: 234)
Menasakh
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًا وَصِيَّةً لِّأَزْوَٰجِهِم مَّتَٰعًا إِلَى ٱلْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِى مَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah). Tetapi jika mereka keluar (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (mengenai apa) yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri dalam hal-hal yang baik. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 240)
Ayat pertama lebih dahulu sistematikanya tetapi dalam nuzul ayat itu di akhirkan.
Sistematika ayat Al-Qur`an yang diperoleh atas tauqifi dari Nabi Muhammad yang datang dari Allah, bukan termasuk ijtihadi karena seperti telah di ketahui bahwa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wassallam memperoleh wahyu Al-Qur`an melalui perantara Jibri dari Allah. Setiap kali Jibril menyampaikan wahyu, ia juga menunjukkan penempatan ayat-ayat tersebut sebagaimana yang telah diperintahkan Allah. Dalam terjemah Mabāḥis fi ‘Ulūmil Qur`ān: Utsman bin Abil ‘As berkata:
كُنتُ جَالِسًا عِندَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسّلَّمَ إذْ شَخَصَ بِبَصَرِهِ ثُمَّ صَوَّبَهُ, ثُمَّ قَلَ: أَتَانِى جِبْرِيلُ فَأَمَرَنِى أَنْ أَضَعَ هذِهِ اْلآ يَةَ هذَا الْمَوْضِعَ مِنْ هذِهِ السُّوْرَةِ. (إِنَّ اللهَ يَاْمُرُبِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآ ءِ ذِى الْقُرْبى
Aku tengah duduk disamping Rasulullah, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu beliau kembali seperti semula. Kemudian beliau berkata, ‘Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surah ini:  Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat...(an-Nahl: 90).”
Untuk mengetahui satu ayat menurut al-Zarqani hanya dengan tauqif dan syar’i, karena qiyas dan akal tidak dapat menjangkaunya, hal ini dikarenakan ayat-ayat Al-Qur`an merupakan bentuk pengajaran dan bimbingan.

Para ulama berbeda pendapat tentang penyusunan sistematika surah Al-Qur`an diantaranya:
وَإِن كُنتُمْ فِى رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا۟ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِۦ
Dan jika kamu meragukan (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya.” (al-Baqarah: 23)



Pada zaman modern ini muncul gagasan dari kelompok orientalis yang berusaha menyusun sistematika ayat dan surah al-Quran berdasarkan kronologis turunnya. Kajian kronologi al-Quran di Barat ini mula-mula dirintis oleh Gustav Weil. Kemudian diikuti oleh Theodor Noldeke, William Muir, dan sarjana-sarjana lainnya.
Usaha Weil dalam menyusun urutan ayat dan surah itu, dimulai tahun 1344 M. bagi Weil semua riwayat hadis dan isnad-isnadnya sama sekali tidak ada artinya, dalam hal ini Weil membagi tahapan turunnya al-Quran menjadi empat tahap, tiga tahap turun di Mekkah dan tahap keempat di Madinah. Pembagian tahap yang demikian ini pun diikuti oleh Noldeka pada tahun 1860 M, yang disertai beberapa perbaikan kecil mengenai soal-soal yang menjadi kandungan masing-masing tahap.
Sedangkan usaha yang dilakukan oleh William Muir dalam menyusun urutan Al-Qur`an yaitu, ia membagi tahapan turunnya Al-Quran menjadi enam; lima tahap di Mekkah dan satu tahap di Madinah. Dalam usaha itu ia banyak bersandar pada riwayat kehidupan nabi termasuk isnad-isnadnya setelah dipelajarinya dengan kritis, di samping itu banyak menelaah data-data informasi sejarah. Kendati demikian, ia juga mengalami berbagai kekeliruan dan masih juga menggunakan riwayat-riwayat yang tidak benar sebagai sandaran.
Selain kelompok orientalis muncul juga kelompok yang menginginkan penyusunan Al-Qur`an berdasarkan kronologis turunnya, yakni susunan ayat dan surah berdasarkan waktu turunnya sejak wahyu pertama di terima Rasul. Menurut mereka Al-Qur`an yang beredar luas seperti mushaf Utsmani sangat membingungkan, mengganggu sistematika pemikiran, dan secara tidak langsung menghilangkan manfaat dari hikmah penurunan Al-Qur`an secara berangsur-angsur. Oleh karena itu, kelompok ini menginginkan penyusunan Al-Qur`an berdasarkan turunnya, yakni surah Makkiyah diletakkan berdampingan dengan surah Makkiyah, dan surah Madaniyah diletakkan dengan surah Madaniyah.
pendapat kelompok ini dinilai tidak masuk akal karena sudah jelas bahwa Al-Qur`an datang dari Allah Subhanahu Wata’ala bukan melalui ijtihad sahabat. Maka susunan yang telah tersusun secara sistematis tersebut tidak boleh diganggu gugat. Dan alasan penyusunan al-Qur`an berdasarkan tempat diturunkannya juga tidak bisa diterima, karena dalam satu surat bisa jadi mengandung ayat-ayat Makiyyah sekaligus Madaniyah. Secara logika, bergandengan dua tubuh yang saling berbeda jauh lebih ringan daripada terdapatnya bagian-bagian asing dan sangat berbeda dalam satu tubuh.
Di sisi lain kelompok ini lemah terdapat dua sisi pandangan al-Qur’an yang berbeda, yaitu maqam tanzil dan ta’lim, dan maqam tadwin dan tartil. Pada sisi pandang maqam tanzil dan ta’lim menitikberatkan pada kondisi yang mengharuskan diturunkannya wahyu guna mengajarkan manusia kepada yang benar dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Sementara pada maqam tadwin dan tartil memfokuskan pada masalah kodifikasi al-Quran untuk dibaca dan menjadi kitab yang kekal sepanjang zaman serta pegangan bagi umat manusia sampai hari kiamat kelak.

BAB III
PENUTUP
Ayat menurut bahasa ialah, tanda atau alamat, dalil atau bukti, i’brroh atau pelajaran, dan mukjizat atau keajaiban. Sedangkan menurut istilah ayat adalah bagian dari surah yang mempunyai awal dan akhir, akhir ayat dinamakan fashilah dan ada juga yang mengatakan ayat adalah bagian dari Al-Qur`an yang terputus dari kalimat sebelumnya dan sesudahnya.
Sedangkan surah secara bahasa menurut al-Zarqani ialah al-Manzilah (posisi), karena posisi surat pada suatu tempat secara berdampigan dan al-Syaraf (kemuliaan), sesuatu yang menonjol dan baik dari suatu bangunan, tanda dan pagar. Dan secara istilah, surat berarti sekelompok ayat yang mandiri yang memiliki awal dan akhir.
Dalam hal di dalam at-Tibyan (karya imam An-Nawawi) disebutkan bahwa jumlah ayat Al-Qur`an disepakati jumlahnya diperhitungkan enam ribu dua ratus ayat lebih. Hanya saja kelebihannya ini diperselisihkan. Diantaranya:
Menurut hitungan Ahli Bashrah adalah tujuh.
Diantara para ulama yang mengemukakan pendapat bilangan ayat dalam Al-Qur`an :
Sebab perbedaan ini di dikarenakan Nabi Shallallahu’alaihi Wassalam membaca waqaf ujung-ujung ayat untuk memberikan pengertian kepada para sahabat. Kemudian setelah mereka tahu, beliau membaca washal, demi memperoleh pengertian yang utuh. Sehingga sebagian sahabat mengira bahwa apa yang dibaca waqaf oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam itu bukanlah fashilah, karena beliau membaca washal pula dengan anggapan mereka, semuanya merupakan satu ayat. Sedang sebagian yang lain menganggapnya sebagai ayat tersendiri.
Dalam perbedaan tertib ayat dan surah  jumhur ulama sepakat bahwa urutan ayat dan surah meupakan tauqif dari Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam. Dan sebagian yang lain menganggap urutan surah sebagian merupakan ijtihadi.
Dan dalam sistematika penyusunan ayat dan surah merupaka tauqif dari Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam. Sedang dalam penyusunan Al-Qur`an menurut kronolisnya, para orientalis berusaha menyusun Al-Qur`an menurut kronologis turunnya.






















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Adzim Al-Zarqani, Muhammad, 2001. Manahil Al-‘urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Aly Ash-Shabuny, Muhammad, 1987. At-Tibyan fi Ulimil Qur`an. Bandung: Al-Ma’arif.
Manna Al-Qattan, 2011. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an. cetakan empat belas. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Anwar, Rosihon, 2000. Ulumul Qur`an. Cetakan pertama. Bandung: Pustaka Setia.
Bin Muhammad Abu Sya’bah, Muhammad, 2003. Al-Madkhal Li dirasati Al-Qur`an Al-Karim. Cetakan kedua. Qohiroh: Maktabah As-Sunnah.
Bin Muhammad bin Zanjalah Al-Muqri, Abu Zura’h abdu Ar-Rahman, 1427. Tanzili Al-Qur’ani  wa Adadu Ayatihi wa Ikhtilafu An-Nasi fihi. min majallatu ma’hadi Al-Imam As-Syathibi li Ad-dirasati Al-Quraniyah.
Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Imam Badru Ad-din, 1988. Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an. Bairut-Lebanon: Dar el-fiqri.
Shams Madyan, Ahmad, 2008. Peta Pembelajaran al-Qur’an. Cetakan pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Umar, Nasaruddin, 2008. Ulumul Qur`an. Cetakan pertama. Jakarta: Al-Ghazali Center.
www.salaf.or.id
www.wikipedia.com